(Riwayat : Anas r.a; Abu Dawud; Al Bukhari)
Seiring
dengan berlalunya waktu, para pemeluk agama Islam yang semula sedikit, bukannya
semakin surut jumlahnya. Betapa hebatnya perjuangan yang harus dihadapi untuk
menegakkan syiar agama ini tidak membuatnya musnah. Kebenaran memang tidak
dapat dmusnahkan.
Semakin hari
semakin bertambah banyak saja orang-orang yang menjadi penganutnya. Demikian
pula dengan penduduk dikota Madinah, yang merupakan salah satu pusat penyebaran
agama Islam pada masa-masa awalnya. Sudah sebagian tersebar dari penduduk yang
ada dikota itu sudah menerima Islam sebagai agamanya.
Ketika
orang-orang Islam masih sedikit jumlahnya, tidaklah sulit bagi mereka untuk
bisa berkumpul bersama-sama untuk menunaikan sholat berjama` ah. Kini, hal itu
tidak mudah lagi mengingat setiap penduduk tentu mempunyai ragam kesibukan yang
tidak sama. Kesibukan yang tinggi pada setiap orang tentu mempunyai potensi
terhadap kealpaan ataupun kelalaian pada masing-masing orang untuk menunaikan
sholat pada waktunya.
Dan
tentunya, kalau hal ini dapat terjadi dan kemudian terus-menerus berulang, maka
bisa dipikirkan bagaimana jadinya para pemeluk Islam. Ini adalah satu persoalan
yang cukup berat yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya.
Pada masa
itu, memang belum ada cara yang tepat untuk memanggil orang sholat. Orang-orang
biasanya berkumpul dimasjid masing -masing menurut waktu dan kesempatan yang
dimilikinya. Bila sudah banyak terkumpul orang, barulah sholat jama `ah
dimulai.
Atas
timbulnya dinamika pemikiran diatas, maka timbul kebutuhan untuk mencari suatu
cara yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengingatkan dan memanggil
orang-orang untuk sholat tepat pada waktunya tiba.
Ada banyak
pemikiran yang diusulkan. Ada sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu
sholat tiba, maka segera dinyalakan api pada tempat yang tinggi dimana
orang-orang bisa dengan mudah melihat ketempat itu, atau setidak-tidaknya
asapnya bisa dilihat orang walaupun ia berada ditempat yang jauh. Ada yang
menyarankan untuk membunyikan lonceng. Ada juga yang mengusulkan untuk meniup
tanduk kambing. Pendeknya ada banyak saran yang timbul.
Saran-saran
diatas memang cukup representatif. Tapi banyak sahabat juga yang kurang setuju
bahkan ada yang terang-terangan menolaknya. Alasannya sederhana saja : itu
adalah cara-cara lama yang biasanya telah dipraktekkan oleh kaum Yahudi.
Rupanya banyak sahabat yang mengkhawatirkan image yang bisa timbul bila
cara-cara dari kaum kafir digunakan. Maka disepakatilah untuk mencari cara-cara
lain.
Lantas, ada
usul dari Umar r.a jikalau ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil
kaum Muslim untuk sholat pada setiap masuknya waktu sholat. Saran ini agaknya
bisa diterima oleh semua orang, Rasulullah SAW juga menyetujuinya. Sekarang
yang menjadi persoalan bagaimana itu bisa dilakukan ? Abu Dawud mengisahkan
bahwa Abdullah bin Zaid r.a meriwayatkan sbb :
"Ketika
cara memanggil kaum muslimin untuk sholat dimusyawarahkan, suatu malam dalam
tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah
lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada maksud
hendak menjual lonceng itu. Jika memang begitu aku memintanya untuk menjual
kepadaku saja.
Orang
tersebut malah bertanya," Untuk apa ? Aku menjawabnya,"Bahwa dengan
membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan
sholat." Orang itu berkata lagi,"Maukah kau kuajari cara yang lebih
baik ?" Dan aku menjawab " Ya !"
Lalu dia
berkata lagi, dan kali ini dengan suara yang amat lantang , " Allahu
Akbar,Allahu Akbar.."
Ketika
esoknya aku bangun, aku menemui Rasulullah SAW dan menceritakan perihal mimpi
itu kepada beliau. Dan beliau berkata,"Itu mimpi yang sebetulnya nyata.
Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu.
Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat
lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal."
Rupanya,
mimpi serupa dialami pula oleh Umar r.a, ia juga menceritakannya kepada
Rasulullah SAW . Nabi SAW bersyukur kepada Allah SWT atas semua ini.
Tulisan
diambil dari Al-Islam Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Prof. Arthur
Alison: ''Karena Az Zumar 42''
Namaku
Arthur Alison, seorang profesor yang menjabat Kepala Jurusan Teknik Elektro Universitas London.
Sebagai orang eksak, bagiku semua hal bisa dikatakan benar jika masuk akal dan
sesuai rasio. Karena itulah, pada awalnya agama bagiku tak lebih dari objek
studi. Sampai akhirnya aku menemukan bahwa Al Quran, mampu menjangkau pemikiran
manusia. Bahkan lebih dari itu. Maka aku pun memeluk Islam.
Itu bermula
saat aku diminta tampil untuk berbicara tentang metode kedokteran spiritual.
Undangan itu sampai kepadaku karena
selama beberapa tahun, aku mengetuai Kelompok Studi Spiritual dan
Psikologis Inggris. Saat itu, aku sebenarnya telah mengenal Islam melalui
sejumlah studi tentang agama-agama.
Pada September
1985 itulah, aku diundang untuk mengikuti Konferensi Islam Internasional
tentang 'Keaslian Metode Pengobatan dalam Al Quran'di Kairo. Pada acara itu,
aku mempresentasikan makalah tentang 'Terapi dengan Metode Spiritual dan
Psikologis dalam Al Quran'.
Makalah itu
merupakan pembanding atas makalah lain tentang 'Tidur dan Kematian', yang bisa
dibilang tafsir medis atas Quran surat Az Zumar ayat 42 yang disampaikan
ilmuwan Mesir, Dr. Mohammed Yahya Sharafi.
Fakta-fakta
yang dikemukakan Sharafi atas ayat yang artinya, "Allah memegang jiwa
(orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu
tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya
dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berpikir," telah membukakan mata hatiku terhadap Islam.
Secara
parapsikologis, seperti dijelaskan Al Quran, orang tidur dan orang mati adalah
dua fenomena yang sama. Yaitu dimana ruh terpisah dari jasad. Bedanya, pada
orang tidur, ruh dengan kekuasaan Allah bisa kembali kepada jasad saat orang
itu terjaga. Sedangkan pada orang mati, tidak.
Ayat itu
merupakan penjelasan, mengapa setiap orang yang bermimpi sadar dan ingat bahwa
ia telah bermimpi. Ia bisa mengingat mimpinya, padahal saat bermimpi ia sedang
tidur.
Al Quran
surat Az Zumar ayat 42 ini juga menjadi penjelasan atas orang yang mengalami
koma. Secara fisik, orang yang koma tak ada bedanya dengan orang mati. Tapi ia tak
dapat dinyatakan mati, karena secara psikis ada suatu kesadaran yang masih
hidup.
"Bagaimana
Al Quran yang diturunkan 15 abad silam, bisa menjelaskan sebuah fenomena yang
oleh teori parapsikologis baru bisa dikonsepsikan pada abad ini?" Jawaban
atas pertanyaan inilah yang akhirnya meyakinkan aku untuk memeluk Islam.
Selepas sesi
pemaparan kesimpulan dalam konferensi itu, disaksikan oleh Syekh Jad Al-Haq,
Dr. Mohammed Ahmady dan Dr. Mohammed Yahya Sharafi, akupun menyatakan dengan
tegas bahwa Islam adalah agama yang nyata benarnya.
Terbukti,
isi Al Quran yang merupakan firman Allah pencipta manusia, sesuai dengan
fakta-fakta ilmiah. Kemudian dengan yakin, aku melafadzkan dua kalimat syahadat
yang sudah sangat fasih kubacakan. Sejak itu aku pun menjadi seorang Muslim dan
mengganti namaku menjadi Abdullah Alison.
Sebagai
Ketua Kelompok Studi Spiritual dan Psikologi Inggris, aku telah mengenal banyak
agama melalui sejumlah studi yang dilakukan. Aku mempelajari Hindu, Budha dan
agama serta kepercayaan lainnya. Entah kenapa, ketika aku mempelajari Islam,
aku juga terdorong untuk melakukan studi perbandingan dengan agama lainnya.
Walaupun
baru pada saat konferensi di Mesir, aku yakin benar bahwa Islam sebuah agama besar yang nyata
perbedaannya dengan agama lain. Agama yang paling baik diantara agama-agama
lain adalah Islam. Ia cocok dengan hukum alam tentang proses kejadian manusia.
Maka hanya Islam-lah yang pantas mengarahkan jalan hidup manusia.
Aku
merasakan benar, ada sesuatu yang mengontrol alam ini. Dia itulah Sang Kreator, Allah Swt. Dari
pengalaman bagaimana aku mengenal dan masuk Islam, aku pikir pendekatan ilmiah
Al Quran bisa menjadi sarana efektif untuk mendakwahkan Islam di Barat yang
sangat rasional itu.
Sumber : (Pesantren.net)
Ini cerita
tentang Anisa, seorang gadis kecil yang ceria berusia Lima tahun. Pada suatu sore, Anisa menemani
Ibunya berbelanja di suatu supermarket. Ketika sedang menunggu giliran
membayar, Anisa melihat sebentuk kalung mutiara mungil berwarna putih berkilauan,
tergantung dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat cantik.
Kalung itu
nampak begitu indah, sehingga Anisa sangat ingin memilikinya. Tapi... Dia tahu,
pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke
supermarket dia sudah berjanji tidak akan meminta apapun selain yang sudah
disetujui untuk dibeli.
Dan tadi
Ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik.
Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya.
"Ibu,
bolehkah Anisa memiliki kalung ini? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi...
"
Sang Bunda
segera mengambil kotak kalung dari tangan Anisa. Dibaliknya tertera harga Rp
15,000.
Dilihatnya
mata Anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas. Sebenarnya dia bisa
saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau bersikap tidak
konsisten...
"Oke
... Anisa, kamu boleh memiliki Kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau
pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu
akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju ?"
Anisa
mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya.
"Terimakasih..., Ibu"
Anisa sangat
menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya, kalung itu membuatnya
nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik Ibunya. Kalung itu tak pernah
lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur.
Kalung itu
hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab,kata ibunya, jika basah,
kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau...
Setiap malam
sebelum tidur, ayah Anisa membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu malam,
ketika selesai membacakan sebuah cerita,
Ayah
bertanya "Anisa..., Anisa sayang Enggak sama Ayah ?"
"Tentu
dong... Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah !"
"Kalau
begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu...
"Yah...,
jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil "si Ratu" boneka kuda dari
nenek... ! Itu kesayanganku juga
"Ya
sudahlah sayang,... ngga apa-apa !". Ayah mencium pipi Anisa sebelum
keluar dari kamar Anisa.
Kira-kira
seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi,
"Anisa..., Anisa sayang nggak sih, sama Ayah?"
"Ayah,
Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah?".
"Kalau
begitu, berikan pada Ayah Kalung mutiaramu."
"Jangan
Ayah... Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini.."Kata
Anisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain.
Beberapa
malam kemudian, ketika Ayah masuk ke kamarnya, Anisa sedang duduk di atas
tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang menangis diam-diam.
Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan. air mata membasahi
pipinya..."Ada apa Anisa, kenapa Anisa ?" Tanpa berucap sepatah pun,
Anisa membuka tangannya.
Di dalamnya
melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya" Kalau Ayah mau...ambillah
kalung Anisa"
Ayah
tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Anisa. Kalung itu
dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan
sebentuk kalung mutiara putih...sama cantiknya dengan kalung yang sangat
disayangi Anisa..."Anisa... ini untuk Anisa. Sama bukan ? Memang begitu
nampaknya, tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau"
Ya...,
ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara
imitasi Anisa.
Demikian
pula halnya dengan Allah S.W.T. terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena
Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang
kita seperti atau bahkan lebih naif dari Anisa : Menggenggam erat sesuatu yang
kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila harus
kehilangan. Untuk itulah perlunya sikap ikhlas, karena kita yakin tidak akan
Allah mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan menggantinya dengan yang
lebih baik.
Sumber : Daarut tauhiid
Berawal dari
sebuah perkenalannya dengan seorang pemuda muslim Evi Cristiani yang kini sudah
menjadi seorang muslimah yang patut dicontoh. Perilaku keislamannya benar-benar
diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari walau begitu berat cobaan yang
dihadapinya.
Sekali
syahadat sebagai kesaksian sakral sudah ia ucapkan maka pantang baginya untuk
surut menegakkan kalimat Allah dalam kalbunya.
Sudah pasti orang tuanya menentang keinginannya, Evi pun harus hijrah ke
tempat kost agar ibadahnya lancar ia kerjakan.
Belum lagi
beres masalah dengan orang tuanya lantaran ia masuk Islam, Evi harus menghadapi
masalah di tempat kerjanya. Gadis berusia 27 tahun bekerja di sebuah biro
perjalanan yang mayoritas karyawannya beragama non muslim. Profesionalisme juga
tidak dijalankan di sana karena sikap sebagian besar karyawannya masih memakai
sentimen agama.
Hasilnya Evi
jadi bulan-bulanan para atasan karena dianggap tidak sejalan dengan pola pikir
mereka. Ada acara rutin tiap dua pekan sekali yang wajib diikuti oleh karyawan
bagian Evi bertugas. Acara yang sarat dengan unsur maksiat itu adalah
mengunjungi bar-bar dan bersenang-senang hingga mabuk.
Dulu ia
tidak pernah lewatkan acara itu tapi sejak ia masuk Islam jelas acara model itu
ia tolak mentah-mentah. Segala alasan ia cari agar ia bisa terbebas dari dosa
itu. Sampai akhirnya atasannya jenuh dan tidak akan mengajak Evi hura-hura
lagi. Beres dengan yang satu itu muncullah masalah lain yang tak kalah
menyakitkan
Ketika
seorang kawannya pulang dari tugas ke eropa, ia membawa oleh-oleh yang
dibagikan ke rekan-rekannya kantornya tak terkecualiEvi. Oleh-oleh berupa kue
itu tak disangka mengandung daging babi. Lantaran Evi tidak tahu ia makan
segigit kue itu lalu kawannya punberkata,"Evi itu kan ada babinya kok
dimakan juga"
Mendengar
hal itu Evi pun lari ke kamar mandi dan memuntahkan sebisa-bisa makanan dalam
mulutnya sambil beristighfar tak henti-henti. Kawannya pun ia tegur, tidak
keras tapi tegas. Si kawan merasa tidak salah dan berkelit. Evi menghentikan
debatitu dan coba menyabarkan dirinya.
Yang
diingatnya hanya kekuatan Allah agar bisa memberinya kekuatan untuk dapat
bertahan dari cobaan ini. Sejak itulah kebencian mulai tumbuh subur di antara
rekan sejawatnya. Menanggapi hal tersebut atasannya segera memindahkannya ke
bagian lain.
Lagi-lagi di
bagian yang baru Evi dihujam oleh fitnah yang bertubi tubi. Manajernya yang
baru justru yang menjadi momok lahirnya fitnahan tersebut. Cobaan demi cobaan
itu dipuncaki dengan dipanggilnya ia oleh pihak SDM.
Ia jelaskan
bahwa ia harus menjalankan kewajibannya sebagai muslim yaitu shalat dan
berusaha menghindari kemaksiatan sekeras mungkin.Jalan keluar tidak ketemu dan
PHK jadi solusi yang terbaik.Evi terima dengan ikhlas,"rejekiku sudah
diatur olehNya," gumam Evi mantap sambil keluar kantor dengan perasaan
lega.
Semoga Allah
Swt memberikan kekuatan lahir bathin buat sdri. Evi yang telah mendapatkan
Hidayah di jalan Allah. Amin
Penulis Amma
Pada suatu
hari Ibrahim bin Adham didatangi oleh seorang lelaki yang gemar melakukan
maksiat. Lelaki tersebut bernama Jahdar bin Rabi'ah. Ia meminta nasehat kepada
Ibrahim agar ia dapat menghentikan perbuatan maksiatnya.
Ia berkata,
"Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat.
Tolong berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya!"
Setelah
merenung sejenak, Ibrahim berkata, "Jika kau mampu melaksanakan lima
syarat yang kuajukan, aku tidak keberatan kau berbuat dosa."
Tentu saja
dengan penuh rasa ingin tahu yang besar Jahdar balik bertanya, "Apa saja
syarat-syarat itu, ya Aba Ishak?"
"Syarat
pertama, jika engkau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan
rezeki Allah," ucap Ibrahim.
Jahdar
mengernyitkan dahinya lalu berkata, "Lalu aku makan dari mana? Bukankah
segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rezeki Allah?"
"Benar,"
jawab Ibrahim dengan tegas. "Bila engkau telah mengetahuinya, masih
pantaskah engkau memakan rezeki-Nya, sementara Kau terus-menerus melakukan
maksiat dan melanggar perintah-perintahnya?"
"Baiklah,"
jawab Jahdar tampak menyerah. "Kemudian apa syarat yang kedua?"
"Kalau
kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya," kata
Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua
membuat Jahdar lebih kaget lagi. "Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu
aku harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik
Allah?"
"Benar
wahai hamba Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau masih pantas
memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus berbuat
maksiat?" tanya Ibrahim.
"Kau
benar Aba Ishak," ucap Jahdar kemudian. "Lalu apa syarat
ketiga?" tanya Jahdar dengan penasaran.
"Kalau
kau masih bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rezeki-Nya dan
tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempar bersembunyi dari-Nya."
Syarat ini
membuat lelaki itu terkesima. "Ya Aba Ishak, nasihat macam apa semua ini?
Mana mungkin Allah tidak melihat kita?"
"Bagus!
Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan
rezeki-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, pantaskah
kau melakukan semua itu?" tanya Ibrahin kepada Jahdar yang masih tampak
bingung dan terkesima. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabi'ah tidak
berkutik dan membenarkannya.
"Baiklah,
ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat keempat?"
"Jika
malaikat maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum
mau mati sebelum bertaubat dan melakukan amal saleh."
Jahdar
termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukannya
selama ini. Ia kemudian berkata, "Tidak mungkin... tidak mungkin semua itu
aku lakukan."
"Wahai
hamba Allah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan
cara apa kau dapat menghindari murka Allah?"
Tanpa banyak
komentar lagi, ia bertanya syarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir.
Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasihat kepada lelaki itu.
"Yang
terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat
nanti, janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!"
Lelaki itu
nampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia menangis penuh
penyesalan. Dengan wajah penuh sesal ia berkata, "Cukup…cukup ya Aba
Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku
berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada
Allah."
Jahdar
memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia
benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah
Allah dengan baik dan khusyu'.
Ibrahim bin
Adham yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa di Balakh itu
mendengar bahwa di salah satu negeri taklukannya, yaitu negeri Yamamah, telah
terjadi pembelotan terhadap dirinya. Kezaliman merajalela. Semua itu terjadi
karena ulah gubernur yang dipercayainya untuk memimpin wilayah tersebut.
Selanjutny,
Ibrahim bin Adham memanggil Jahdar bin Rabi'ah untuk menghadap. Setelah ia
menghadap, Ibrahim pun berkata, "Wahai Jahdar, kini engkau telah
bertaubat. Alangkah mulianya bila taubatmu itu disertai amal kebajikan. Untuk
itu, aku ingin memerintahkan engkau untuk memberantas kezaliman yang terjadi di
salah satu wilayah kekuasaanku."
Mendengar
perkataan Ibrahim bin Adham tersebut Jahdar menjawab, "Wahai Aba Ishak,
sungguh suatu anugrah yang amat mulia bagi saya, di mana saya bisa berbuat yang
terbaik untuk umat. Dan tugas tersebut akan saya laksanakan dengan segenap
kemampuan yang diberikan Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah
gerangan kezaliman itu terjadi?"
Ibrahim bin
Adham menjawab, "Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika engkau dapat
memberantasnya, maka aku akan mengangkat engkau menjadi gubernur di sana."
Betapa
kagetnya Jahdaar mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata,
"Ya Allah, ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas taubatku. Yamamah
adalah sebuah wilayah yang dulu sering menjadi sasaran perampokan yang aku
lakukan dengan gerombolanku. Dan kini aku datang ke sana untuk menegakkan
keadilan. Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala rahmat-Nya."
Kemudian,
berangkatlah Jahdar bin Rabi'ah ke negeri Yamamah untuk melaksanakan tugas
mulia memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan amanah menegakkan keadilan.
Pada akhirnya ia berhasil menunaikan tugas tersebut, serta menjadi hamba Allah
yang taat hingga akhir hayatnya.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi
Islam Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar