Pentingnya Menjaga Kesehatan menurut Islam
15 Juni 2010
Meski filosofi
yang sering dilontarkan dalam agama adalah: “Untuk apa kesehatan?”
tidak berarti agama sama sekali tidak berbicara mengenai “Bagaimana
hidup sehat?”.
Ada beberapa riwayat Hadis yang mengandung ajaran-ajaran hidup sehat. Misalnya, sabda Rasulullah ?, “Lakukanlah bepergian, maka kalian sehat.” (HR Ahmad). “… dan berpuasalah kalian, maka kalian sehat.” (HR ath-Thabarani). “Orang
yang tidur dalam keadaan tangannya berbau lemak, lalu ia terkena
sesuatu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.” (HR ad-Darimi).
Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam menerapkan pola makan yang sehat. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam
memakan kurma dengan mentimun. (HR al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah
melarang tidur setelah makan (HR Abu Nuaim). Rasulullah menganjurkan
mengawali berbuka dengan kurma, jika tidak ada maka dengan air. (HR
at-Tirmidzi) Rasulullah memerintahkan makan malam meskipun dengan
setelapak kurma. (HR at-Tirmidzi).
Ada beberapa ulama yang secara khusus menulis ajaran kesehatan dalam Islam, misalnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam ath-Thibb an-Nabawi. Ibnu Muflih al-Maqdisi dalam al-آdâb asy-Syar’iyah, secara panjang lebar mengurai pola hidup sehat yang diterapkan oleh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam Begitu pula asy-Syami dalam kitab sejarah Subulul-Hudâ wa-Rasyad, secara khusus menulis judul “Sejarah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam Menjaga Kesehatan”. Juga, Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ Ulûmiddin, tidak jarang menyinggung hikmah-hikmah kesehatan yang terdapat dalam ajaran-ajaran Islam.
Pola
hidup sehat ada tiga macam: yang pertama, melakukan hal-hal yang
berguna untuk kesehatan; yang kedua, menghindari hal-hal yang
membahayakan kesehatan; yang ketiga, melakukan hal-hal yang dapat
menghilangkan penyakit yang diderita. Semua pola ini dapat ditemukan
dalilnya dalam agama, baik secara jelas atau tersirat, secara khusus
atau umum, secara medis maupun non medis (rohani).
Allah berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya: … makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS al-A’raf [7]: 31)
Menurut
mufasir kontemporer, semacam as-Sa’di, ayat tersebut mencakup perintah
menjalani pola hidup sehat dalam bentuk melakukan dan menghindari, yakni
mengonsumsi makanan yang bermanfaat untuk tubuh, serta meninggalkan
pola makan yang membahayakan. Makan dan minum sangat diperlukan untuk
kesehatan, sedangkan berlebih-lebihan harus ditinggalkan untuk menjaga
kesehatan.
As-Sa’di juga menganggap larangan Allah dalam QS al-Baqarah: 95, “Walâ tulqû bi-aydîkum ilat-tahlukah (dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan)” merupakan
prinsip umum yang bisa juga dijadikan dalil bagi kesehatan. Seorang
Muslim dilarang melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya, termasuk di
dalamnya adalah mengonsumsi atau melakukan hal-hal yang berbahaya bagi
kesehatan.
Tuntunan
kesehatan fisik dalam agama tentu saja dibangun di atas pondasi
kesehatan rohani, karena ajaran agama bukanlah teori-teori kedokteran.
Contoh-contoh yang disebutkan di atas semuanya memiliki landasan moral,
tak murni tuntunan medis.
Dalam
pandangan agama, kesehatan merupakan kemaslahatan duniawi yang harus
dijaga selagi tidak bertentangan dengan kemaslahatan ukhrawi atau
kemaslahatan yang lebih besar. Kesehatan, kedokteran dan semacamnya
sudah menyangkut kepentingan umum yang dalam pandangan Islam merupakan
kewajiban kolektif (fardu kifayah) bagi kaum Muslimin.
Sebagai
gejala jasmani murni, sehat dan sakit, boleh dibilang tidak secara
langsung berkaitan dengan agama. Dalam pandangan agama, sehat belum
tentu lebih baik daripada sakit, begitu pula sebaliknya. Sehat dan sakit
merupakan dua kondisi yang sama-sama memiliki potensi untuk mendapat
label baik atau buruk. Jika manusia bisa mendapat pahala atau dosa dari
kondisi sehatnya, maka ia juga bisa mendapatkan pahala atau dosa dari
kondisi sakitnya. Di situlah sebetulnya fokus pandangan agama mengenai
sehat dan sakit. Selebihnya dari itu, merupakan pengembangan dari
prinsip-prinsip moral seperti telah disebutkan di atas.
Pada
dasarnya, agama sangat menganjurkan kesehatan, sebab apa yang bisa
dilakukan oleh seseorang dalam keadaan sehat lebih banyak daripada yang
apa yang bisa dilakukannya dalam keadaan sakit. Manusia bisa beribadah,
berjihad, berdakwah dan membangun peradaban dengan baik, jika faktor
fisik berada dalam kondisi yang kondusif. Jadi, kesehatan fisik, secara
tidak langsung, merupakan faktor yang cukup menentukan bagi tegaknya
kebenaran dan terwujudnya kebaikan.
Namun
demikian, posisi kesehatan tetap sebagai sarana, bukan tujuan. Tujuan
agama adalah tegaknya kebenaran dan terwujudnya kebaikan itu sendiri.
Maka, oleh karena itu, dalam sabda-sabda Rasulullah dapat dengan mudah
kita temukan janji-janji manis untuk orang-orang yang sakit: bahwa
penyakit merupakan penghapus dosa dan mesin pahala yang besar.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam
menyatakan bahwa orang meninggal karena sakit perut atau terkena wabah
thaun, maka ia syahid. Orang yang sabar saat kedua matanya buta, maka ia
mendapat surga (HR al-Bukhari), dan lain sebagainya. Tapi, hal ini sama
sekali tidak bisa diartikan bahwa Islam menganjurkan sakit perut, sakit
mata, dan seterusnya. Yang dianjurkan adalah sikap tabah dan rela
terhadap takdir ketika penyakit-penyakit tersebut menyerangnya. Sebab,
misi agama adalah mengajak manusia agar menjadikan setiap kondisi dalam
hidupnya sebagai sarana untuk mendulang kebaikan dan mendekatkan diri
kepada Allah, baik dalam kondisi sehat maupun sakit, kaya maupun miskin,
kuat maupun lemah, dan seterusnya.
Selain
itu, janji pahala tersebut, bisa dipahami sebagai paradigma Islam dalam
membesarkan hati orang-orang yang berada dalam kondisi sengsara agar ia
tidak putus asa, sebagaimana Islam juga senantiasa memberikan
peringatan dan menyalakan lampu kuning untuk orang-orang yang berada
dalam kondisi sehat-sejahtera, agar ia tidak terlena.
Dengan
demikian, maka jelas sekali bahwa agama mengajarkan hidup sehat,
meskipun di balik itu, yang jauh lebih ditekankan oleh agama adalah
bagaimana menggunakan kesehatannya itu untuk sesuatu yang baik. Kondisi
terbaik yang paling diimpikan oleh agama bagi kehidupan masyarakat
adalah kebaikan dalam kesehatan. Selebihnya dari itu, kesehatan boleh
hilang asal kebaikan tetap terjaga, dalam kondisi apapun.